Minggu, 22 Februari 2015

HAKIKAT TOLERANSI DALAM ISLAM

‘TOLERANSI’ telah menjadi berhala baru yang disembah oleh kaum modernis pemuja kebebasan dan hak asasi manusia. Karena, kata ‘toleransi’ kerap kali dijadikan hujjah (statemen) oleh sekelompok modernis untuk menghalalkan apa yang telah diharamkan dan mengharamkan apa yang telah nyata-nyata halal.
Ulil Abshar misalnya, dalam tulisannya pada islamlib.com tanggal 03-09-2011 dengan judul ‘Lebaran dan Toleransi Internal’ menuliskan, “Saya akan ambil kasus Ahmadiyah yang menjadi perdebatan sengit beberapa waktu lalu. Kita tahu, sebagian besar golongan dalam Islam berpendapat bahwa Ahmadiyah adalah sekte yang sesat. Perkaranya sederhana: mereka percaya ada nabi baru. Dalam kepercayaan mayoritas umat Islam, Nabi Muhammad adalah nabi terakhir. Yang percaya ada nabi lain setelahnya, sesat, menyimpang dari ortodoksi, meleset dari doxa atau ajaran yang benar. Menanggapi desakan dari berbagai pihak, pada 9 Juni 2008, akhirnya pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditekan oleh Menag, Mendagri dan Kejaksaan Agung. Substansi SKB itu tergambar dalam poin kedua. Saya kutip selengkapnya:
Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran agama Islam pada umumnya, seperti pengakuan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW.
Poin ini memang sangat ambigu, tapi satu hal jelaslah disana: kecenderungan untuk membatasi aktivitas Ahmadiyah. Ini memang jalan tengah yang terpaksa diambil oleh pemerintah untuk menengahi dua kubu: mereka yang menuntut pembubaran Ahmadiyah di satu pihak, dan mereka yang menuntut kebebasan penuh bagi golongan itu di pihak lain. Ini adalah jalan politis yang terpaksa diambil sebagai solusi pragmatis, meski, menurut saya, tidaklah ideal. Solusi ini jelas bertentangan dengan konstitusi kita yang menjamin kebebasan agama dan keyakinan, tanpa pandang bulu. Dalam konteks konstitusi kita, istilah “keyakinan yang sesat” sama sekali tak dikenal, dan tak diperbolehkan. Istilah itu hanya relevan dalam konteks rumah tangga internal suatu umat, bukanlah konteks kenegaraan.
Bagi ulil, ‘toleransi’ menihilkan sesat atau tidak sesat. Tidak ada kamus ‘sesat’ dalam dogma toleransi yang digaungkan oleh ulil dan temen-temenya. ‘Sesat atau tidak sesat’ itu urusan Allah, manusia tidak punya hak untuk menilai keyakinan seseorang (sekelompok orang) sesat atau tidak.
Untuk itu, agar kita tidak terjerumus ke dalam jurang kesalahan yang fatal terhadap terminology toleransi ini, maka hakikat toleransi yang benar menurut Islam harus kita pahami.

Sabtu, 21 Februari 2015

MERENUNGI PESAN-PESAN LUKMAN AL-HAKIM

وإذ قال لقمان لابنه وهو يعظه يبني لاتشرك بالله إن الشرك لظلم عظيم

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepada anaknya : “Hai anakku, janganlah kamu mensekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar”. (QS. Luqman : 13)

Luqmanul Hakim merupakan salah satu suri tauladan diantara para bapak yang sangat memperhatikan pendidikan anak. Baik pendidikan ruhiyah maupun jismiyah, mental maupun badan.
Beliau merupakan orang tua yang sadar akan tugas yang diamanahkan kepadanya, yakni merawat dan memelihara serta mendidik anak-anaknya. Memberinya pelajaran, memberinya makan dari hasil yang halal, serta memberi pakaian dengan pakaian yang baik, pakaian ihsan dan taqwa.
Pesan-pesan yang disampaikan Luqmanul Hakim kepada anaknya meliputi pesan yang berkenaan antara hubungan hamba dengan Robnya, antara hamba dengan sesama. Itu semua tertuang dalam bait-bait ayat yang telah Allah abadikan di dalam surat Luqman.
Adapun pesan-pesan Luqman kepada anaknya adalah :

1.      Tidak mensekutukan Allah Subhanahu wa ta’ala
Pesan ini beliau katakan seperti dalam firman Allah :
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepada anaknya : “Hai anakku, janganlah kamu mensekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar”. (QS. Luqman : 13).
       Orang tua yang bertanggung jawab terhadap pendidikan anaknya dan keselamatan hidupnya kelak di akhirat adalah orang tua yang mendidik anaknya dengan pendidikan tauhid, yaitu memurnikan segala amalnya hanya untuk Allah, tanpa dicampuri dengan yang lain,karena itu akan menjadi sekutu dan tandingan Allah Subhanahu wa ta’ala, dan sesungguhnya syirik itu merupakan dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah jika si-pelaku dosa syirik itu meninggal dalam keadaan musyrik (mensekutukan Allah). Sebagaimana firman Allah :
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya …..”. (QS. An Nisa’ : 116). Dan firman-Nya : “Dan Robmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia…”. (QS. AL Isro’ : 23).
            Tugas orang tua dalam mendidik anak sejak kecil adalah mengenalkan anak akan siapa Tuhannya, siapa yang mencipta dan mengurusi alam semesa ini, mengerti siapa nabinya, dan mengerti apa agamnaya, sehingga anak mengerti dan faham akan tugas hidup di dunia ini, yaitu beribadah kepada Allah semata dengan cara mengikuti sunnah Rosul-Nya. Sebagaimana yang telah dipesankan oleh nabi Ibrahim dan Ya’ub kepada anak-anaknya : “Dan Ibrahim telah mewasiatkan  ucapan kepada anak-anaknya, demikian Ya’qub. (Ibrahim) berkata :  “Hai anak-anakku ! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati keculi dalam memeluk agama Islam”. (QS. Al Baqoroh : 132).
            Dan seperti yang diwasiatkanYa’qub kepada anak-anaknya sebelum beliau wafat : “Apa yang akan kamu ibadahi setelah sepeninggalanku ? mereka menjawab ; Kami akan mengibadahi Ilahmu dan Ilah nenek moyangmu, Ibrahim, Isma’il dan Ishaq, yaitu (Ilah) yang Maha Esa dan kami hanya tunduk dn patuh kepada-Nya”. (QS. Al Baqoroh : 133).

Kamis, 19 Februari 2015

AHLUL BAIT DALAM AL-QUR'AN

إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
Sesungguhnya Allah hanya bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33)
Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
Sesungguhnya hanya, maknanya menunjukkan batasan. Yaitu menetapkan hukum yang disebutkan dan meniadakan yang lainnya. Batasan di sini adalah batasan secara idhafi, yang maknanya sesuatu yang dibatasi tersebut sesuai dengan keadaannya. Seperti halnya firman Allah:
إِنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ
Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan melalaikan.” (Muhammad: 36) Bukan berarti kehidupan dunia hanya itu saja, namun juga bisa menjadi wasilah dalam mengamalkan kebaikan. (lihat Syarah Arba’in, Ibnu Daqiqil ‘Ied, hal. 28, dan Tafsir Surat Al-Ahzab oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin )
Allah bermaksud hendak, yang dimaksud di sini adalah kehendak kauniyyah yang maknanya Allah telah menghendaki hal tersebut secara taqdir. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Utsaimin, namun dalam masalah ini terdapat khilaf.
Menghilangkan.
Kotoran atau najis, yang dimaksud dalam ayat ini adalah kotoran atau najis secara makna, berupa akhlak dan amalan buruk dan rendah. (Lihat Tafsir Surat Al-Ahzab, Ibnu Utsaimin )
Pada Siapa Ayat ini Diturunkan?