‘TOLERANSI’ telah menjadi berhala baru yang disembah oleh kaum
modernis pemuja kebebasan dan hak asasi manusia. Karena, kata ‘toleransi’ kerap
kali dijadikan hujjah (statemen) oleh sekelompok modernis untuk menghalalkan
apa yang telah diharamkan dan mengharamkan apa yang telah nyata-nyata halal.
Ulil Abshar misalnya, dalam tulisannya pada
islamlib.com tanggal 03-09-2011 dengan judul ‘Lebaran dan Toleransi Internal’
menuliskan, “Saya akan ambil kasus Ahmadiyah yang menjadi perdebatan sengit
beberapa waktu lalu. Kita tahu, sebagian besar golongan dalam Islam berpendapat
bahwa Ahmadiyah adalah sekte yang sesat. Perkaranya sederhana: mereka percaya
ada nabi baru. Dalam kepercayaan mayoritas umat Islam, Nabi Muhammad adalah
nabi terakhir. Yang percaya ada nabi lain setelahnya, sesat, menyimpang dari
ortodoksi, meleset dari doxa atau ajaran yang benar. Menanggapi desakan dari
berbagai pihak, pada 9 Juni 2008, akhirnya pemerintah mengeluarkan Surat
Keputusan Bersama (SKB) yang ditekan oleh Menag, Mendagri dan Kejaksaan Agung.
Substansi SKB itu tergambar dalam poin kedua. Saya kutip selengkapnya:
Memberi peringatan dan memerintahkan bagi
seluruh penganut, pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut
agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan
penafsiran agama Islam pada umumnya, seperti pengakuan adanya Nabi setelah Nabi
Muhammad SAW.
Poin ini memang sangat ambigu, tapi satu hal
jelaslah disana: kecenderungan untuk membatasi aktivitas Ahmadiyah. Ini memang
jalan tengah yang terpaksa diambil oleh pemerintah untuk menengahi dua kubu:
mereka yang menuntut pembubaran Ahmadiyah di satu pihak, dan mereka yang
menuntut kebebasan penuh bagi golongan itu di pihak lain. Ini adalah jalan
politis yang terpaksa diambil sebagai solusi pragmatis, meski, menurut saya,
tidaklah ideal. Solusi ini jelas bertentangan dengan konstitusi kita yang
menjamin kebebasan agama dan keyakinan, tanpa pandang bulu. Dalam konteks
konstitusi kita, istilah “keyakinan yang sesat” sama sekali tak dikenal, dan
tak diperbolehkan. Istilah itu hanya relevan dalam konteks rumah tangga
internal suatu umat, bukanlah konteks kenegaraan.
Bagi ulil, ‘toleransi’ menihilkan sesat atau
tidak sesat. Tidak ada kamus ‘sesat’ dalam dogma toleransi yang digaungkan oleh
ulil dan temen-temenya. ‘Sesat atau tidak sesat’ itu urusan Allah, manusia
tidak punya hak untuk menilai keyakinan seseorang (sekelompok orang) sesat atau
tidak.
Untuk itu, agar kita tidak terjerumus ke dalam
jurang kesalahan yang fatal terhadap terminology toleransi ini, maka hakikat
toleransi yang benar menurut Islam harus kita pahami.